Halo, aku biru
Sedang apa kau disana?
Masih mengingat aku?
Aku si biru
Aku selalu sedih, tapi bukan karena kau
Aku selalu murung, juga buka karena kau
Tapi karena kemunafikan kita berdua
Aku meliriknya lagi. Lalu menghela nafas, lagi. Entah aku sudah melakukannya berapa kali semenjak lelaki ini duduk disampingku, tanpa memulai sebuah pembicaraan.
Aku kembali menghela nafas. Tidak biasanya lelaki itu menghampiriku dan hanya duduk terdiam. Biasanya dia akan berbicara, melupakan segala macam titik koma, tidak bisa berhenti bicara. Jujur saja aku heran. Mungkin saja ia ada masalah, tapi aku tidak mau ambil pusing. Tapi hatiku tetap mempertanyakan sikapnya. Apa aku khawatir? Entahlah. Aku tidak mau bersikap peduli.
Sejak awal, hubungan antara aku dan dia sama sekali tidak ada rasa didalamnya. Mungkin hanya buatku, mengingat dialah yang memintaku untuk menjadi kekasihnya. Hubungan ini hanya berawal dari kesalahpahaman. Dan bodohnya, aku sama sekali tidak meluruskan kesalahpahaman itu, dan membiarkannya terus berlanjut seperti ini.
Aku menyukai orang lain. Tentu saja bukan dia. Orang yang dari dulu tidak pernah bisa aku jangkau. Bahkan ketika aku mengulurkan tanganku panjang-panjang. Orang yang selamanya hanya aku bisa tatap dari belakang, tanpa bisa menyentuhnya barang sedikitpun.
Dan lelaki ini kemudian masuk dalam hidupku begitu saja. Aku merasa berdosa telah membuatnya merasakan perasaan itu sendiri. Tapi aku tidak tega mengatakan padanya. Ia terlalu baik, dan aku akan menjadi orang terjahat didunia bila menyakitinya lebih dari ini.
Lamunanku terhenti ketika ia mengeluarkan suaranya. “Menurut kamu, aku ini berarti apa? Apa aku termasuk bagian penting dari hidup kamu?”
Aku terdiam. Sama sekali tidak tahu—benar-benar tidak tahu harus menjawab apa.
“Aku tahu dia merupakan bagian terpenting dalam hidup kamu. Tapi, benar tidak ada tempat untukku? Sampai selama ini… Apa kamu benar-benar tidak bisa melihatku?”
Aku tertohok. Lelaki ini mengetahui semuanya—perasaanku, orang itu, dia mengetahuinya. Aku melihat kearahnya. Menatapnya dengan semua rasa bersalah yang aku punya. Ketika aku melihat manik matanya, aku menunduk. Dia terlihat begitu sakit.
“Kamu orang baik…” lirihku.
“Tapi gak bisa membuat kamu suka sama aku ‘kan?”
Aku menggigit bibir bawahku. “Maaf… Aku yang salah, aku—“
“Lebih baik selesai sampai disini ‘kan? Kamu gak perlu repot-repot menjaga perasaanku lagi. Cukup aku saja yang menjaga semuanya—perasaanku, rasa sayangku sama kamu. Biar aku aja yang menyimpannya.”
Rasanya sesak. Aku tidak tahu, tapi rasanya sesak sekali. “Maafin aku…”
Dia mengelus kepalaku—sangat nyaman. Kemudian tersenyum lembut. “Terima kasih untuk selama ini. Meskipun kamu gak pernah suka sama aku, seenggaknya aku merasakan pernah memiliki kamu.”
Hanya mengingatmu saja dada sesak, mata hujan
Itulah aku biru
Kau munafik, begitupun biru
Tak ada perbedaan bukan?
Kejadian itu sudah lama berlalu, dan rasa kosong mulai melingkupi hatiku. Sejak kepergiannya, seperti ada lubang yang menganga lebar didadaku. Aku kehilangan. Aku baru sadar kalau kehadirannya begitu mempengaruhi hidupku—dan bodohnya, aku baru sadar ketika ia benar-benar pergi, dan tak bisa kembali lagi.
Dadaku sesak. Ketika waktu itu, secara tidak sengaja aku melihatmu bersama wanita lain. Kamu terlihat begitu bahagia—aku senang, dan cemburu disaat bersamaan. Biasanya aku yang menikmati senyum lebarmu, yang melihat mata teduhmu. Tapi sekarang semuanya sudah bukan untukku lagi. Kamu sudah bukan milikku lagi.
Kamu bilang, kamu akan menjaga perasaanmu padaku. Kamu bilang, kamu akan selalu menjaganya. Tapi bagaimana dengan sekarang?
Aku sadar kalau ini sangatlah egois. Memilikimu, tetapi menyerahkan hatiku pada orang lain. Dan setelah kamu pergi, aku tidak ingin hatimu dimiliki orang lain. Hanya boleh buatku. Aku menyesal—dan sangat menyesali penyesalan yang datang selalu terlambat.
Tapi, apakah cinta juga datang selalu terlambat?
Ya memang, karena kita satu
Tapi itu, dahulu
Dan kini, tak ada arti
---------
To be surrounded by creative people is one of my wishes, so I thank to God for sending me these guys,
Saras Hanin and
Fahmi Maulana. The illustration up there was created by the talented Fahmi and that melancholy-slash-romantic-slash-tragic story was created by the brilliant Saras. I thank you guys for making such lovely artworks based on my poem
here! *terharu*
Yes, this post is dedicated to Saras and Fahmi, my good, creative, and inspiring friends. Once again, thank you.