Sunday, January 15, 2012

Mereka Harusnya Tau

Ada ya orang pintar.
Orang yang bisa 'baca'.
Yang udah tau gimana kita.
Padahal baru kenal barang sedetik.

"Eh, itu tanamannya roboh! Hati - hati dong makanya!"
Gue langsung lari ngebenerin tanaman itu, tapi nggak tau caranya gimana biar tumbuhan itu bisa balik kayak semula. Karena tadinya tanaman itu kokoh, kuat, sekarang salah satunya jadi bengkok. Gue nggak nyadar kalau gue saat itu diperhatiin sama seseorang yang gue nggak tau siapa, tiba - tiba dia datang, dan ngasih tau.

"Itu di potnya ada tali, coba ditali."
"Eh iya, Pak."

Gue sambil mesam - mesem ngejawab pernyataan bapak tadi. Karena sebenernya malu juga, bisa - bisanya gue nggak liat ada tali disana.

"Kalau ada masalah, coba jangan panik. Coba bayangin kalau kamu masih ngaruk - ngaruk tanah buat benerin tanamannya. Nggak selesaikan?" kata bapak itu sambil tersenyum.
"Iya ya Pak, haha." gue jawab dengan tawa, gue malu. Bodoh banget gue. Bisa - bisanya.
"Nama kamu siapa?" Tanya bapak itu tadi.
"Nikita, Pak" jawabku masih membenarkan tanaman tadi.
"Nikita, kamu punya masalah dengan perasaan nggak? Moody gitu?"
"Iya, Pak. Ada. Hahaha. Bapak bisa 'baca'?"
"Nggak, saya bisanya menulis. Hahaha"
Lalu, kita tertawa bersama.

Dan setelah itu gue dipanggil teman untuk membantunya beres - beres lagi. Gue tinggalah bapak itu, ya memang jobdesc gue saat itu untuk bantu beres - beres ketika acara selesai. Tapi waktu gue beres - beres gue masih mikirin pertanyaan bapak tadi, nggak tau kenapa tiba - tiba mata gue berlinang. Gue mau nangis. Pertanyaannya emang simple, tapi rasanya 'nyes' Ngena dihati. Ada ya orang yang bisa tau kita, padahal kenal juga barang sedetik. From my deepest heart, I just need someone like him. Somone who knows me well without I've to tell him before. Itu yang bikin nangis, tanpa gue kasih tau gue itu gimana, dia tau gue. Orang - orang harusnya tau gue gimana, tanpa gue mesti kasih tau sebelumnya. Orang - orang harusnya tau mesti nyikapin gue gimana, waktu gue lagi gimana. Tapi mereka nggak tau. Gue juga tau, kalau kayak gitu, gue egois. Gue awalnya cuma mengira kalau bapak tadi itu cuma nebak, tapi ternyata gue salah. Setelah gue, temen - temen gue juga "dibaca" dia gimana, dan semuanya itu benar. Waktu gue nyeritain ke temen - temen, gue nyeritainnya sambil nangis, apalagi ke Ajeng, my best sister in the world. Jeng, nggak papa kan ya aku anggap kamu kakak? Ajeng itu baik, pendengar yang baik, serba baik. Ajeng juga dibaca sama bapak itu, dan alhamdulillah, Ajeng dikasih tau semuanya yang positif. Ya emang itulah Ajeng, orang baik.

Terima kasih loh Pak, udah nyadarin saya. Nyadarin gimana saya masih belum bisa ngatur perasaan saya, emosi saya, mood saya yang suka jelek. Tapi sekarang, insyaAllah, sedang dicoba berubah, niat dari dalam hati untuk ngatur perasaan Pak. Bismillah...

"Nikita!"
"Iya, Pak?"
"Nama panjang kamu siapa?"
"Nikita Putri Mahardhika, Pak."
"Lahir di bulan Agustus ya?"
"Bukan Pak, saya juga bingung kenapa ada Mahardhikanya."
"Ooh, mungkin untuk kemerdekaan yang lain, hahaha"
"Iya, ya Pak. Hahaha."

Kemerdekaan yang lain? Apa?
Bismillahirrahmanirahim, niat untuk ngatur perasaan dalam diri dan mencoba untuk mencari kemerdekaan yang lain itu. Semangat untuk sukses!