Tuesday, December 9, 2014

Sedikit Sentilan

Untuk setiap percakapan yang terjadi, mau sesederhana apa percakapan itu, pasti akan ada sebuah at least nilai yang didapat. Sama halnya dengan malam ini. Saya baru saja tersentil oleh ucapan teman saya, teman baik bisa dibilang. 

"Dia tuh orangnya gimana sih, Nik? Paling baik ya di antara semuanya? Atau sama aja kayak yang lain? Jahat?"
"Ya nggak tau yah. Selama ini dia nggak jahat sama gue."
"Yaiyalah, Nik, siapa sih yang mau jahatin lo?"

Saya merasa tersentil, pernyataannya hanya bisa saya balas dengan sebuah senyuman tipis tertahan. Saya nggak bisa bales, saya nggak bisa jawab. 

Emangnya kenapa kok nggak ada yang mau jahatin saya?

Kalau dibilang saya sebaik itu sampai - sampai nggak ada yang mau jahatin saya, nggak mungkin. Saya nggak sebaik yang orang kira. Saya memang selalu berpikir bahwa di dunia ini saya harus berlaku baik dengan siapapun, berteman dengan siapa saja. Tapi bukan berarti saya percaya dengan semua orang. Jujur saja, pernyataan teman saya membuat saya merasa aman sekaligus was was. Aman karena kemungkinan orang lain jahat pada saya kecil, was was kalau - kalau saya lengah ketika orang lain akan jahat pada saya.

Atau, bisa saja tolak ukur kejahatan pada diri saya termasuk rendah? Apa yang dianggap orang lain jahat buat saya belum tentu? 

Atau, bisa saja saya sebenarnya sudah diperlakukan jahat tapi saya tidak sadar?


Love,
NM.

Sunday, November 16, 2014

Will You?

Dear Papah,
it is not that I want to erase yourself in my mind
it is not that I want to delete our memories
it is not that I want to forget you

But really,
sometimes when I am alone
The memories of you remind me
And kill me
Again, again and again.

I miss you so bad,
and I do not know what to do

Except for sending you my prayers so they will always make you warm up there

Papah,
Can you please at least for once show up in my dream,
tonight?

Say to me what should I do,
now and then
Hug me tight as you will never want to leave me
Hold my hand so we can face the world together again
Guide myself then I can be a better me for a better future

And tell me,
what is heaven like?

I miss you so bad
and I do not know what to do.

Sunday, November 9, 2014

Siapa Akan Membanggakan Siapa

Kepada laki - laki yang saya sayangi kedua setelah Papah, adik saya, Magdianov Putra Mahardhika. Selamat ulang tahun! 

Mudah sebenarnya mengingat umurmu, tak usah mengurangi tahun sekarang dengan tahun lahirmu. Karena bagi tiap orang yang kelahiran 2000, seperti kamu, umur adalah dua angka di tahun sekarang. 14.

Writing for you like this seems so meaningless. Apalagi pake aku - kamu, saya - kamu macam begini. Kita kan biasanya gue - lo. Lo kan paling nggak bisa kayaknya dikasih tulisan - tulisan romantis kayak gini. Entah gue yang sok tau atau emang bener lo begitu. Hehehe.

Udahlah, gue lo aja ya sekarang. Nggak mau romantis - romantisan sama lo. Heuh.

I am having love-hate relationship with you. We hate each other, sometimes. We love each other, always. Jujur aja, untuk nggak kesel sama lo tuh susah. Amit - amit deh. Paling susah dibilangin, paling susah diatur, paling suka kasar, paling ngeselin seumat. (iya, tau kok ini lebay) But in the end, we will hug each other.

You know what happens between us, right? Between our family? The one we love the most has passed away, he is gone too soon because God loves him that much than we do. And now, you have got the responsibility to replace his role in our family. Untuk hal ini, gue harap lo tidak terlalu memusingkan dan memikirkan. Just focus on your studies.

Mari kita mengesampingkan rasa sedih yang ada. Sebenarnya semalam, ketika kita semua tiup lilin dan potong kue, ingin rasanya jauh - jauh dari duka. Membaca doa, sebelum tiup lilin. Lalu kita juga tetap bernyanyi. Mungkin akan dibilang tidak menghargai, tapi kenapa gue pikir Papah pun turut hadir di sana dan bernyanyi pula.. He was there, dengan senyumnya yang tak pernah lepas dari bibir miliknya.

Satu hal yang nggak pernah bosan - bosan gue kasih tau, make us proud, Adek. Buat Mamah, Papah, dan gue bangga atas hasil serta kerja keras lo untuk menempuh apa yang lo cita - citakan. Jangan pernah lelah, jangan pernah putus asa. Inget, though Papah is not here anymore, he is still watching you. 

Ayo buang rasa malas dan mulai usahakan untuk tidak selalu bermain games. Make time for yourself to study, pelajarin Zeniusnya. Ajak Mamah dan kasih tau apa yang dibutuhkan untuk kelangsungan lo menghadapi UN. And always remember that when you need a help, I will be there to help you.

Gue harap lo tidak pernah berpikir untuk apa lo berusaha keras ketika orang yang sangat ingin lo banggakan tiada. Karena bahwasannya masih banyak orang di luar sana yang harus lo banggakan. Terlebih - lebih diri lo sendiri. Yourself wants you to make him proud. Apa yang akan terjadi di depan, tidak akan terulang dua kali. So choose your way wisely, darling.

Inget bahwa diri lo butuh kehidupan yang cerah kedepannya nanti.

Once again, happy birthday to you, my favorite.
Oh iya, pesan gue: tolong selalu jaga Mamah.

We do not have much time in this life,
jadi jangan sampai menyesal untuk tidak melakukan apa yang harus dilakukan.
Sekarang.


Love,
NM.

Friday, October 24, 2014

Gone Too Soon

It was Saturday morning when suddenly I got the call.
The call that maybe I will never forget.
A mom's call.

Memento mori. 'Remember, we are mortal', begitulah katanya. Kita hidup lalu akan pergi--mati. Bukankah memang pertemuan selalu bergandengan erat dengan perpisahan? Entah dengan cara apapun, bagaimanapun, serta kapanpun.

Tapi satu yang jelas, untuk hal ini, memento mori tidak berlaku bagi saya. Ia abadi. Beliau abadi. Papah. Ia hidup, selalu selamanya, dalam hati saya.

Untuk Papah tercinta yang selalu saya banggakan,
izinkanlah saya menceritakan sosok pahlawan dalam hidup saya selama delapan belas tahun ini. Agar dunia tahu, you are my super hero.

Edy Priyono, begitulah namanya. Nama pertama yang mungkin dikenalkan pada saya ketika saya baru saja lahir. Tapi lucunya, Papah tidak pernah memakai nama aslinya pada akun sosial media miliknya. Edi Baba Hadi, begitu yang tertera pada facebooknya. Papah juga memiliki (anggap saja) nama beken? Hahaha, nama panggilan favoritnya, eprie, dia gunakan pada setiap e-mailnya.

Jika ditanya bagaimana seorang Papah di mata saya, saya akan menjawab bahwa Papah itu diriku, dan diriku itu Papah. Banyak kecintaan kami yang sama. Banyak karakter kami yang sama. Ah, dan tentunya tingkah laku kami.

Masih jelas dalam ingatan saya bagaimana Papah pertama kali mengenalkan puisi pada saya. Mengajarkan saya membuat puisi dan membacanya ketika kelas tiga SD. Papah, menurut saya, seorang pembaca puisi yang handal. Dengan bukti pada jamannya, SD dan SMP, selalu diandalkan untuk membaca puisi pada tiap kesempatan. Entah lomba daerah, ataupun hanya acara sekolah.

Selain puisi, kecintaan Papa ada pada bernyanyi dan menggambar--walaupun hanya sketsa yang dibuatnya. Mungkin kecintaan saya pada seni menurun dari Papah. Seorang yang artsy, begitulah saya menyebutnya.

Semakin dewasa, saya semakin sadar bahwa sebenarnya Papah membebaskan kami--anak - anaknya--untuk memilih. Melakukan apa yang kami suka. Tak pernah campur tangan ketika kami memang tahu apa yang kami jalani. Malah Papah selalu membantu kami menggapai impian jika memang itu adalah jalannya. Atau saya yang terlalu keras kepala untuk mendengar, Pah? 

'You can be whatever you want, but the risks are all yours.' katanya. Hal itu yang mengajarkan saya bahwa tak apa mengambil risiko besar, selama saya bertanggung jawab di akhir. 

Tapi dulu Papah memang seorang yang tegas. Strict sekali, saya takut. Sudah dijadwalkan untuk saya dan adik saya belajar dari jam tujuh sampai jam sembilan setiap malamnya. Padahal yang saya lakukan, setidaknya, hanya absen duduk di kursi belajar sambil bermain orang - orangan dari pinsil atau pulpen. Hahaha, does not time fly so fast, Pah? Ada lagi, Papah selalu menjadwalkan kami untuk berenang setiap minggu, dan tambahan untukku: menari. Lalu les bahasa Inggris dua kali seminggu. Nggak, kami nggak bisa menolak, memilih, atau membantah kala itu. Semuanya sudah diatur. Tapi lambat laun kami sadar, bahwa hal itu memberikan manfaat yang besar. Papah tidak ingin anaknya tidak lebih hebat dari Papah. 

Walaupun kami, sampai sekarang, masih belum cukup hebat dari Papah.

"Awakmu pancen wong apik, Ed.." salah satu testimoni yang saya dapat dari teman sekawan Papah. Jelas sudah hal itu mendeskripsikan Papah secara keseluruhan. Papah orang baik. Papah, the one who always put his smile every time around his families and friends. The one who cheered every one up. The one who lit the room up. The one who always had the creative ideas. The one who easily gave hand even you did not ask. And the one who, I knew for the very first time I opened my eyes, would be the man I fall in love with. Forever. 

Untuk Papah,
saya rindu. Rindu sekali. Ingin rasanya bertatap muka, berbicara panjang lebar, dan bercanda melepas penat. Belum sempat saya menceritakan bagaimana kehidupan saya di Semarang. Belum sempat juga saya membanggakan Papah. Belum. Saya janji.

Papah,
saya tahu harus ada harga yang saya bayar demi suatu kemajuan yang lebih baik lagi. Mungkin keputusan saya kali ini adalah harganya. Dan ya..

Hello, Jakarta.
Maybe I will be back for good.

Sampai jumpa, Papah! Pada masanya ketika kita 'kan saling berbagi bahagia. Doa kami semua setia menemanimu, tak henti, tak lelah.


Love,
NM.

Thursday, July 10, 2014

To My Future Self

Hope you will always live well.
Dear future Nikita,

How's life going there? Good enough? Are you happy? Make sure that you live your life happily. I don't know what life will bring you, but well, all I know life is getting harder everyday so brace yourself.

Are you still doing what you love to do? Or you're already an expert of it? I always wish you a bright future there so please explore yourself and enhance the abilities of what you like and what you can do.

If life brings you down, keep in your mind that you still can writing, doodling, taking some photos, making diy things, recording, joining some class, reading, and sitting alone in your favorite bookstore or teashop. Oh! If you have much much much money, reach your target to travel the world! Prefer alone, I think. Jangan lupa dari yang kecil - kecil ya, coba jelajah Indonesia dulu. Dan ya, selalu syukur nikmat. Ingat! Syukur nikmat, jangan pernah kufur nikmat.

Stay humble, stay focus, and be kind! Though there are so many people out there who don't have same opinion like you, keep focus! Stay on what you believe it's true. But still be open-minded, think positively. You have to remind yourself that it's great to be you, to be Nikita. You'll always be surrounded by great, creative, and lovely people! I believe.

Oh, last but not least. Don't forget to love and be loved. Love yourself, love your parents, love your families, love your friends, and the most important is love your God. More, more, and more. Without Him, you'll never be "a person" you're today. And yes, keep on searching for your significant other. Make a move, do something. How long you have to wait for something that will never happen? You're already warned by your adorable friends in junior and senior high school to open your heart to every good man out there, good luck! (Or you've already found your significant other and settle down? :p)


Love,
NM.

P.s:
Don't forget to prepare your presentation for tomorrow's meeting, don't lose your colleagues! Stroke of luck for your company--in creative industry.

Friday, June 27, 2014

A Wistful Longing

"The worst way to miss someone is to be sitting right beside them knowing you can't have them."

Pretty sad, isn't it? We once had the situation like that before, or it's just me I guess. Gue, lo, kita duduk bersebelahan. Pernah juga depan belakang. I remember every details, everything that came out from your mouth.
---
Siang itu, saat istirahat kedua. There were only three students in class; me, you, and my very good friend. Gue di kursi, sibuk ngerjain tugas yang gue lupa apa namanya. And then you came, bringing our friends' guitar. 

"Jreeng..," lo main satu nada sembari duduk.
"Dih. Emang lo bisa main gitar?"
"Nggak sih, tapi lagi belajar."

Gue balik pura - pura sibuk dengan tugas gue. You will never know what I felt inside, won't you? I thought there would be a big explode in my stomach; so many butterflies lived. You still played the guitar, when I was still pretending study the lesson with all my ears to you. I'm sorry for saying this but I feel like you tried to accompany me at that time--I'm sorry. 
---
"Lagu seni budaya lo apa?"
"Sekonyong konyong koder"
"Apaan tuh? Coba dong nyanyiin."
"Nggak ah, apaan nggak mau!" I refused.
But you still asked me in a way that I couldn't resist. 
"Cintaku sekonyong konyong koder, karo koe.. Ah, udah ah!" And I went, left you alone. 
"Hahaha," you laughed.
---
Masih tetap di saat pelajaran seni budaya, awalnya kita main tebak - tebakan macem "lo orang mana" games sama anak - anak lain. But I didn't know why it ended up only the two of us. 

"Coba dong gue! Tebak gue orang mana?"
"Ah, jangan senyum dong! Susah tau." You said. 
I giggled. I just couldn't stop smiling at you because your curiosity. 
"Oke, oke gue coba." I said. 

We stared at each other. I found something in your eyes I couldn't reveal. And boom! You guessed it precisely; Jawa Tengah - Jawa Timur. 
---
"Mana sini? Coba liat hasil psikotest lo."
Then I gave you mine. 
"Hahahaha, bener banget nih!"
"Bener apanya sih? Yang mana?" I asked.
"Nih, lo orangnya suka langsung pergi gitu kalo diisengin."
"Hah, tau ah." I left.
"Tuh kan! Hahaha"
---
"Ah, gila gila! Ini keren banget, bikin kayak gini berapa lama ya?"
"Iya, dewa banget yang bikin pop-upnya. Kayaknya sih bakalan lama," my good friend answered.
And then you suddenly came to us.
"Apaan nih? Yaelah, begini sih gampang bikinnya," ya, seperti biasa. Ke-sok tau-an lo bikin gue gila.
"Sok banget sih. Coba lo bikin!" gue teriak, sedikit dibumbui rasa kesal. Buat gue, hasil kreatifitas mahal harganya. They are priceless.
"Iya, ntar gue bikin buat lo."

But sorry dear darling, Nikita, it only happened in your mind.
Hahaha, I know. Lo nggak akan pernah buatin gue satu pop-up dengan tanda hati di sana--seperti yang lo omongin dulu--kan?
---
Entah saat istirahat UTS atau UAS, gue terlalu malas untuk bergerak, duduk mempersiapkan diri untuk ulangan berikutnya. Dengan tiba - tiba lagi, lo datang, duduk depan gue, memakai bangku dengan cara tak seharusnya.
"Lo mau masuk mana nanti? Jurusan apa?"
"Komunikasi."
"Komunikasi udah banyak lagi. Emang mau apa?"
"Periklanan. Gue mau kerja di advertising agency!" ucap gue semangat.
"Ah, itu juga udah banyak, dan susah tau dapet kerjanya kalo lo anak komunikasi bukan lulusan universitas yang bagus. Kenapa nggak yang lain aja?"
"Kenapa mesti yang lain? Gue maunya itu."
"Coba dong yang lain, hubungan internasional aja."

And who are you for telling me something to do in my future?
---
"Kok lo pendek sih, Nik. Tinggiin dong."
"Iya, ntar gue tinggi ngalahin lo."
---
"Coba, mana tangan lo."
"Buat apa?" I asked.
"Sini liat."
"Nih.."
"Lo buat kayak gini deh," lo mengepalkan tangan, nyuruh gue untuk ngelakuin hal yang sama.
Then I followed.
"Wah, nggak keliatan nih tulang - tulangnya," kata lo dengan maksud tulang jari.
Then you said,
"Pasti gara - gara ketutupan daging." 

Sialan. Hahahaha.
---
Day by day passed by. I still remember the way I tweeted about us, about our separation.

"Then I realize that everything has changed. Our subjects aren't the same anymore. Too much differences, that's it. You go in your own class, and vice versa, I go in my own class."

Gue pikir semakin lama kita nggak pernah ketemu dan interaksi, maka perasaan ini akan semakin kabur. Hilang. Gue udah sering coba untuk menghindar. Sesimple gue nggak pernah mau main ke kelas lo, ke kelas tetangga lo, padahal di kelas itu teman - teman baik gue singgah.

Ternyata gue salah.

The longer I don't see you, the stronger my longing to you. And the moment we meet, the moment our eyes stare each other, is the moment I so much appreciate. Though we didn't speak, though I just kept silent, my eyes spoke million words. I missed you.

Percaya atau nggak, perasaan yang gue bangun sendiri. Ternyata butuh orang lain untuk matikan. So, could you please turn off everything? 
---
Bali, 2012.

"Lo mau gelang nggak? Gue beliin."
"Eh? Nggak..," gue memutuskan untuk pergi. Gue linglung. Gue nolak--gue nyesel.
---
"Talking about you, talking about me, and talking about us are awkward. But talking about her? Will never be awkward. Never. Even for me."

"Kira - kira kado yang bagus apa ya, Nik?"
"Apa ya? Dia suka apa emangnya? Warna favorit? Beliin aja apa yang dia suka."
"Suka warna item kalo nggak putih. Suka banget sama eeyore."
"Ya udah, kasih aja yang ada hubungannya sama itu. Atau nggak scrapbook! Kasih kado yang lo buat sendiri."
"Ah, ribet," oh jelas, gue udah duga lo bakalan jawab ini. You're my number one favorite lazy person.
"Gue mau kasih sesuatu yang bisa dia pake." lanjut lo.

And there you are, holding someone I never guess before. Someone who has many specialties, someone who has good and pretty inner-outer-beauties. Someone who is worth-fighting for. Congratulations!
---
Sedih? Pasti. But I think I have found the answer to all my questions in life about you.

"Because we're here to complete each others, not to be together. Just like when you need a help, I'll be there to help you."

I'm really sorry for posting this post. I mean like I shouldn't post this, but you know, I think I'm on a position where I miss you this much. I'm on a tipping point. 

"If time doesn't heal the wound, and so does band aid. There are still words to heal the wound. So just write."


It's really a time to let go of you, I guess. Good luck on your study, good luck with everything in your life. Do the best, and let God do the rest. I'm still here to listen every good story and news of yours. Hope we will meet again, soon.

"In the end, you can’t really find a substitute for someone. What you can do is probably save a tiny place in your heart for him, and find someone else who will fill in all the other spaces.".


Love,
NM.

Monday, June 16, 2014

Berkurang Seribu

Malam semakin larut, tapi aku masih terjebak dalam kemacetan jalan Jakarta. Semuanya berisik, bunyi klakson mobil meriuhkan jalan. Asap rokok beradu dengan asap kendaraan. Bau lepek dari pakaian kantor, seragam, ataupun kaos bercampur dengan udara malam. Entah apa yang lebih buruk di saat keadaan seperti ini, perasaan kalut menyelimuti. Hati, pikiran, semua penuh. Rasanya ingin kucopoti satu – satu.

Kulihat telepon genggamku, tak ada tanda – tanda apapun. Notifikasi pesan maupun telepon sama sekali tak ada yang masuk. Aku mulai meragukan dia; seseorang yang sudah kuanggap lebih dari sekedar teman, sahabat, maupun keluarga. Seseorang yang sudah kuterima cintanya tiga tahun yang lalu. Dan seseorang yang selalu berkata ingin menghabiskan waktu bersamaku. Abadi selamanya.

Dingin malam semakin menusuk. Pun begitu dengan perkataannya; selalu berputar – putar di pikiran sembari menancapkan duri tajam. Kata – kata yang dulu indah; sangat indah. Namun, semuanya telah berubah sejak tadi pagi. Cacian, makian serta perbuatannya telah menghapus semua keindahan.

“Kamu kurang ajar! Lalu apa arti abadi selamanya, hah?” ucapku berteriak.
“Tunggu, tunggu dulu. Apa yang kamu lihat tidak seperti di pikiranmu.” ujarnya.
“Ini indraku, Ndra. Aku berhak percaya atas apa yang aku lihat!” teriakanku semakin keras.
“Perempuan keras kepala! Sudah kubilang dia bukan siapa – siapaku!”

Seketika itu aku tertawa, keras sekali. Tawa yang kuharap bisa menyindir dirinya.

“Hahaha, kamu kira aku bodoh? Laki – laki seperti kamu berdua dengan perempuan di kafe sepi seperti ini dan sekarang kamu bilang bahwa dia bukan siapa – siapa kamu?” tanyaku.
“Kamu memang bodoh, lebih bodoh sejak kita pertama kali bertemu. Tiga tahun yang lalu.” tukasnya dingin.

Semua nilai, untuk perkataan dan dirinya, telah berkurang seribu di mataku.

Lalu aku berpikir, apalah arti berkurang seribu kalau dari awal aku sudah memberikan dia nilai seratus ribu untuk segalanya; penampilan, karakter, sikap, hingga kecerdasannya. Semua jelas tak berarti apa – apa.

Telepon genggamku berbunyi. Sebuah notifikasi muncul; ada pesan baru masuk. Kubuka pesan itu secara perlahan. Membaca pesan itu berulang – ulang ternyata tak membuahkan hasil; isi pesan itu tetap sama. Isinya: aku sudah putuskan semua. Kurasa meninggalkanmu dan memilih dia adalah pilihan yang tepat. Selamat tinggal. Segera kurekatkan jaket kulitku lebih erat dari sebelumnya, rasanya aku bisa mati kedinginan. 

Malam ini.