Thursday, August 22, 2019

How I see Myself on Romantic Relationships

Phnom Penh, 2017.
Manusia dilahirkan dan diciptakan dengan keadaan serta karakteristik yang berbeda—menjadikan setiap manusia sebagai individu yang unik. Namun, tidak serta merta perbedaan dianggap menjadi hal positif. Bagi sebagian orang perbedaan menjadi hal yang mengancam ketika mereka tidak mengenal siapa diri mereka. Manusia akan cenderung takut untuk menjadi berbeda dengan orang lain—dengan kelompok mayoritas. Untuk itu diperlukanlah kemampuan seseorang untuk dapat menilai dan mengenali diri mereka masing-masing lebih dalam.

Esai ini membahas tentang perbedaan tiap-tiap attachment style (gaya hubungan dan keterikatan seseorang dengan orang lain) dan ways of viewing romantic relationships (cara pandang seseorang terhadap orang lain/pasangan dalam hubungan romantis). Serta akan disimpulkan juga mengenai konflik apa yang mungkin muncul dengan attachment style dan ways of viewing yang dimiliki ketika menjalin hubungan dengan seseorang. Terlepas dari itu, esai ini juga bertujuan untuk mengenali diri saya lebih lanjut dalam kedua hal tersebut.

Attachment Style: Pengertian dan Penjelasan
Attachment style mengacu pada sebuah cara di mana seseorang berhubungan dengan orang lain; apakah orang itu akan sangat bergantung dengan orang lain atau tidak. Gaya ini akan mempengaruhi segala hal dari mulai bagaimana seseorang akan memilih pasangan, bagaimana seseorang akan mengatur dan menjaga hubungan itu, dan juga mempengaruhi bagaimana sebuah hubungan akan berakhir.

Dengan mengetahui attachment style yang dimiliki, maka seseorang akan lebih mengerti kekuatan dan kelemahannya dalam sebuah hubungan. Menurut PsychAlive, cara seseorang dalam berhubungan dengan orang lain telah dibentuk pada saat awal mula kehidupan orang tersebut; during the first two years. Namun menurut Dr. Lisa Firestone, “The attachment style you developed as a child based on your relationship with a parent or early caretaker doesn’t have to define your ways of relating to those you love in your adult life.”

John Bowlby dan Mary Ainsworth menemukan beberapa attachment style yang terjadi di antara anak-anak dengan pengasuhnya. Lalu pada tahun 1980an, Cindy Hazan dan Phillip Saver mengaplikasikan teori attachment style ini pada orang-orang dewasa. Hazan dan Shaver melihat bahwa ada kesamaan antara hubungan anak-anak dan pengasuhnya dengan hubungan orang dewasa—romantic relationship. Terdapat empat attachment style yang ditemukan: secure style, dismissing style, preoccupied style, dan avoidant style.

Secure Style
Orang dengan secure style cenderung akan puas dengan hubungan yang sedang dijalani karena ia memiliki penghargaan diri dan kepercayaan yang tinggi pada pasangannya. Sehingga mereka akan merasa aman meskipun mereka membebaskan pasangannya pergi ke mana saja—karena mereka percaya. 

Dismissing Style
Orang dengan attachment style ini akan memiliki tendensi untuk menjauh dengan orang lain atau pasangannya. Mereka akan lebih mengisolasi diri dan merasa ”pseudo-independent”. Biasanya memiliki penghargaan diri yang tinggi namun kepercayaan pada orang lain rendah.

Preoccupied Style
Beda dengan orang yang menganut secure style, dengan cara ini orang cenderung akan terlihat desperate dan haus akan perasaan emosional, seperti ingin dicintai atau ingin dipercaya dengan pasangannya. Sehingga akan terlihat bahwa orang ini sangat bergantung dan lekat dengan orang lain yang malah akan membuat pasangannya pergi. Biasanya memiliki penghargaan diri yang rendah namun kepercayaannya tinggi.

Avoidant Style
Orang dengan cara ini akan hidup pada stase yang ambivalent, di mana dia merasa takut dekat dan takut jauh dengan orang lain atau pasangannya. Biasanya memiliki penghargaan diri dan kepercayaan yang rendah. Sehingga dia tidak memiliki strategi yang terorganisir untuk dipenuhi kebutuhannya oleh orang lain. 

My Attachment Style
Setelah mengetahui keempat attachment style yang ada, saya mengetahui bahwa dismissing style adalah cara saya. Bisa dibilang saya merupakan orang yang ambivert—terkadang dapat menjadi extrovert tapi di lain sisi saya butuh untuk sendiri. Mungkin seharusnya saya memiliki cara yang avoidant dalam berhubungan, namun jika ditanya apakah saya seimbang merasakan takut untuk terlalu dekat dan terlalu jauh dengan orang lain, jawabannya adalah tidak. Saya lebih takut ketika orang lain ingin mengenal saya lebih jauh. Saya takut mereka akan menjadi clingy terhadap saya, memegang erat saya dan menjadikan saya bagian darinya. Padahal saya bukanlah tipe orang yang dapat stay di satu tempat. Saya tidak bisa terjerat singkatnya. 

Dalam perkuliahan ini bisa dibilang saya memiliki banyak peer-group. Ada kelompok untuk bermain (hangout), ada kelompok untuk belajar bersama, ada kelompok untuk menjalankan hobi yang sama, atau kelompok untuk bercerita dan berdiskusi. Namun ketika saya dihadapkan dengan kelompok-kelompok tersebut (semua anggota berkumpul dan percakapan bukan antar satu anggota dengan anggota lainnya) saya cenderung tidak akan membicarakan masalah pribadi saya. Saya seringkali hanya mendengarkan, menimpali siapa yang sedang berbicara, dan membicarakan topik yang umum-umum saja. 

Namun bukan berarti saya tidak bisa dekat dengan salah satu anggota dari peer-group yang ada. Saya lebih senang menceritakan hal-hal yang pribadi dengan orang yang dekat dengan saya, dengan orang yang memang sudah saya percaya. Bisa jadi salah satu dari mereka adalah orang yang saya percaya. Tetapi biasanya sulit bagi saya untuk mempercayai orang lain; saya butuh waktu. 

Orang bilang setidaknya manusia harus memiliki satu ‘rumah’ untuk kembali pulang. Bagi saya sekarang, rumah saya adalah sahabat laki-laki saya. Padanya, saya bisa menceritakan apapun dari hal-hal umum sampai hal pribadi. Saya bisa menjadi diri saya dan saya tahu bahwa dia menerima saya apa adanya. Sehingga itu yang membuat saya nyaman. Mungkin hanya dia satu-satunya orang yang membuat saya bergantung (biasanya saya merasa tidak enak kalau meminta bantuan dan bergantung pada orang lain). Tapi tetap saja, saya tidak pernah merasa takut jika suatu saat ia pergi dan saya harus kehilangannya (bohong! Ternyata saya takut). In the end, I think, we will live all alone and we only have ourselves.

Untuk saat ini, saya tidak memiliki hubungan romantis pada siapapun. Perasaan suka? Cinta? Rasanya tidak ada. Seringkali saya menanyakan pada diri saya, kenapa saya selalu takut jika ada seseorang lawan jenis yang mendekati saya dan saya tahu maksudnya dia; menginginkan lebih dari sekadar teman. Biasanya saya langsung menjauh darinya dan berujung saya kesal pada diri saya—kenapa saya terlalu jahat menjadi seorang perempuan. 

Tapi jujur, mungkin saya takut tersakiti atau saya memang orang yang sinis terhadap urusan cinta-cintaan. Tambah lagi menurut saya, hubungan romantis di masa sekarang tidak begitu penting. Masih banyak tujuan serta cita-cita yang harus dicapai. Apalagi saya masih nyaman dengan kesendirian, serta kesepian bukanlah hal yang menakutkan bagi saya. 

Ways of Viewing Romantic Relationships: Pengertian dan Pembahasan
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya bahwa manusia memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain, pada sub-bab ini akan dibahas mengenai perbedaan cara pandang seseorang kepada orang lain. Dalam menjalin hubungan dengan orang lain, ada tiga kecenderungan seseorang dalam memandang pasangannya yaitu social exchange, social role, dan game. Ketiga hal tersebut pasti ada dalam karakteristik manusia, tidak mungkin ada orang yang hanya memiliki satu kecenderungan saja dalam way of viewing. 

Social Exchange
Teori ini menjelaskan bahwa hubungan yang dibuat oleh seseorang dengan orang lain adalah hubungan yang memberi manfaat penuh pada dirinya dan meminimalisir biaya yang dikeluarkan. Menurut teori ini, seseorang dianggap self-centered dan tidak peduli adanya kesetaraan. Menurut Erin Long-Crowell, “The basic idea is that relationships that give us the most benefits for the least amount of effort are the ones we value the most and are likely to keep long-term.”

Social Role
Cara pandang manusia terhadap orang lain yang kedua adalah social role. Dalam menjalin suatu hubungan menurut teori ini, seseorang akan cenderung menentukan peran-peran apa yang seharusnya dilakukan dalam sebuah hubungan. Sehingga seseorang akan memiliki standar penilaian tersendiri dengan pasangannya mengenai peran dan tingkah laku.

Game
Cara pandang ini memaksa orang lain yang ada dalam hubungan untuk menderita. Artinya, seseorang akan dilihat sebagai the only person who takes the benefits. Dia akan melakukan apapun untuk memuaskan diri mereka meskipun orang lain menderita.

My Ways of Viewing Romantic Relationships
Pada dasarnya seseorang tidak mungkin hanya cenderung dengan satu way of viewing saja. Setidaknya, ketiganya pasti dimiliki dan saya sadar bahwa saya memiliki ketiganya meskipun ada kecenderungan yang lebih pada social role lalu disusul dengan social exchange.

Menurut saya, saat saya menjalin hubungan dengan orang lain, saya akan memandang mereka dengan peran-peran yang sudah ditetapkan. Saya tidak suka jika ada seseorang yang tidak tahu apa yang harus dilakukannya, setidaknya mereka tahu apa yang harus dilakukan. Seringkali saya memiliki teman yang tidak tahu apa yang harus dilakukan saat dalam kondisi dan situasi tertentu. Seperti bagaimana bersikap ke pacarnya yang terlalu posesif, bagaimana membalas chat gebetannya, atau sesederhana keputusan apa yang harus diambil ketika ingin memakai baju untuk pergi ke suatu tempat. Hal-hal temeh seperti itu seharusnya sudah bisa dilakukan sendiri tanpa ada intervensi dari orang lain. Karena jelas bahwa masalah dan problematika kehidupannya dengan orang lain itu yang tahu hanyalah dia dengan orang yang bersangkutan. 

Juga dalam bertindak saya tidak suka bila ada seseorang yang bertindak semaunya, istilahnya dia tidak tahu tempat. Pernah suatu ketika ada seseorang kakak tingkat yang sedang presentasi tetapi dia melakukan itu sambil bercanda. Sambil tertawa—membuat jokes—dan berbicara yang tidak ada kaitannya dengan materi presentasi—yang sama sekali menurut saya tidak lucu. Saya heran mengapa ada orang yang dapat bertindak seperti itu.

Hal lainnya yang mendorong saya cenderung lebih ke social role adalah saya memiliki standar penilaian tersendiri untuk mengatakan bagaimana seseorang dapat dikatakan baik dan bagaimana tidak. Sampai-sampai saya memiliki kriteria sendiri untuk pacar dan suami idaman saya—dan mungkin ini menjadi salah satu faktor mengapa sampai sekarang saya masih saja belum memiliki pacar terlepas dari kenyamanan saya akan kesendirian. 

Selain saya memandang seseorang dengan social role, ada kecenderungan saya memandang orang lain dengan social exchange. Jelas bahwa telah menjadi naluri manusia untuk memiliki suatu hubungan yang dapat memberikan manfaat bagi dirinya dan saya pun begitu. Saya akan lebih memilih untuk menjalin hubungan dengan seseorang yang memang memberikan dampak positif atau manfaat bagi kehidupan saya kedepan. 

Jika dibilang saya murni melakukan social exchange tanpa mempedulikan adanya keadilan dan kesetaraan, bisa dibilang saya tidak seperti itu. Saya masih ingin berlaku adil dalam proses take and give. Terlebih-lebih saya merasa tidak apa-apa jika hanya memberi tanpa diberi timbal-balik. Walaupun ada kalanya saya berbuat seperti itu demi kebutuhan saya nantinya.

Saya selalu berpikir bahwa manusia memang tidak bisa hidup sendiri, pasti ada kalanya manusia itu membutuhkan orang lain untuk bersandar dan memenuhi kebutuhannya. Maka dari itu, setiap saya melakukan kebaikan dan memberi manfaat pada orang lain saya merasa seperti menabung. Semakin banyak saya menebar kebaikan, saya yakin akan semakin banyak pula kebaikan yang akan saya dapatkan nantinya. Sehingga saya mencoba untuk tidak bermasalah dengan orang lain karena menurut saya, saya pasti akan membutuhkan bantuan mereka suatu saat nanti. Saya rasa saya tipikal orang yang jarang kecewa ketika budi baik saya tidak dibalas dengan orang lain. Karena memang pada dasarnya, saya ingin memberi lebih daripada orang lain itu. 

Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya bahwa saya memiliki banyak peer-group yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan saya. Saya yakin semakin banyak kelompok bermain yang dimiliki maka akan semakin cepat kebutuhan saya yang terpenuhi dan semakin banyak manfaat yang bisa saya ambil. 

Tapi tidak selamanya kelompok bermain yang saya ikuti selalu bersama. Dari sekolah dasar sampai sekarang, kelompok yang masih saya ikuti perkembangannya bisa dihitung dengan jari. Mengapa? Karena saya sadar, ketika kelompok itu sudah tidak memberi manfaat atau berdampak positif kepada saya, maka saya akan keluar dan pergi. 

Potensi Konflik Antara Attachment Style dan Ways of Viewing yang Saya Miliki
Kecenderungan seseorang dalam memandang orang lain dapat berujung konflik jika dikaitkan dengan attachment stylenya. Saya sebagai seseorang yang memiliki cara dan gaya berhubungan yang dismissing style akan menemui sejumlah konflik dengan cara pandang saya terhadap orang lain secara social role dan social exchange.

Potensi konflik pertama yang timbul ketika saya berhubungan dengan orang lain adalah saya akan cenderung kesulitan dalam memenuhi kebutuhan saya. Saya sadar bahwa saya memandang seseorang dengan social exchange di mana saya akan taking the benefits and minimalizing the costs from the relationship. Tapi karena saya merupakan seseorang yang dismissing, maka ketika saya ingin mengambil suatu manfaat dari hubungan, saya kesulitan karena saya lebih senang untuk melakukan apa-apa sendiri. Sehingga kebutuhan saya tidak dapat terpenuhi, padahal saya sangat membutuhkan hal itu misalnya. 

Kedua, orang-orang yang belum mengenal saya lebih jauh akan sulit menerima saya karena saya akan terlihat seperti orang yang independent dan tidak butuh siapapun. Sehingga orang lain cenderung tidak ingin memiliki hubungan dengan saya, karena mungkin mereka akan beranggapan bahwa saya tidak dapat memberikan perlakuan timbal balik kepadanya. Padahal saya bisa memberi lebih dari apa yang mereka pinta, seperti yang telah saya katakan bahwa lebih baik saya memberi daripada saya mengambil istilahnya. Namun, butuh waktu untuk saya berlaku seperti itu; saya tidak mudah percaya orang lain.

Potensi konflik lainnya adalah, jika saya memiliki pasangan, maka bisa ditebak bahwa pasangan saya akan sangat merasa kesulitan. Saya cenderung akan membuat jarak lebih dulu ketika marah atau ada masalah, sehingga kami mungkin akan sulit menyelesaikan konflik yang ada lebih cepat. Selain itu, ada kemungkinan saya membiarkan pasangan menebak-nebak apa kesalahannya tanpa memberi tahu secara langsung. Sehingga di sini akan sering terjadi kesalahpahaman dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh pasangan saya dan sikap apa yang seharusnya tidak dilakukan olehnya. Saya mungkin juga akan menunjukkan sikap saya yang sok kuat dibandingkan sikap-sikap lemah saya atau sikap vulnerable saya kepada pasangan. 


Love,
NM.