Friday, June 23, 2017

Below Expectation

Malang, 2016.

One night, I talked with this guy. He told me almost everything that bothers him; about this upcoming event. We talked so many things about expectations, about how things should be that and not be this, how people should do that and not do this. About how he was burdened and sad enough because his expectations didn't meet the lines. 

Sometimes life isn't always as we expected.
Sometimes it's just a pile of trash that we can't trust.

Sedih ya? Bagaimana yang kita harapkan seringnya tidak sejalan dengan kenyataan.
Bagaimana yang sudah terkonsep nyatanya ambyar di tengah jalan.

In that conversation, I argued with him. I said, maybe you're just having high expectations. You expect too much. That's why you're disappointed with the things you've made.


Love,
NM.

Sunday, June 18, 2017

Tentang Rindu

A view that I do really miss

"Kenapa sih lo demen banget lama - lama di kampung?"

Sering kali saya mendapat pertanyaan seperti itu, apalagi saat mudik lebaran. Tentunya pertanyaan itu datang dari teman - teman saya sendiri. Pada dasarnya, saya memang senang perjalanan jauh; duduk di mobil, melihat pemandangan dari jendela, lalu sawah, ladang, perumahan, sungai, sampai hutan pun terpampang jelas dan jujur dari sana. Tapi nggak jarang waktu kemacetan melanda, sering banget saya ngeluh dan ngebatin, kenapa saya nggak naik kereta aja sih? But no! Esensi mudik lebaran akan hilang kalau naik kereta, menurut saya.

Ada banyak alasan kenapa saya senang lama - lama di kampung. Mau itu di Magelang, kampungnya Mamah, atau di Madiun, kampungnya Papah. Keduanya bener - bener ngasih saya  pelajaran. Pelajaran apalagi kalau bukan pelajaran hidup. Magelang ngajarin saya tentang arti kesederhanaan, sedangkan tempat Papah mengajarkan kalau hidup bukan tentang kamu sendirian.

Kampung Mama dan kampung Papah benar - benar kontras. Papah bisa dibilang nggak hidup di kampung, Papah dibesarkan di kota Madiunnya. Sedangkan Mamah, well, Mamah hidup di desa, Ngluwar tepatnya. Setiap kali mudik lebaran, saya dan keluarga selalu menyempatkan untuk bertandang ke dua kota tersebut. Seringkali Magelang menjadi destinasi pertama, lalu lanjut Madiun di hari lebaran kedua atau ketiga. Karena naik mobil, tak jarang kita mampir dulu di Solo. Ke tempat milik salah satu teman Papah, kalau kalian orang Solo atau Karanganyar kalian juga harus mampir ke tempat ini, Agrowisata Sondokoro.

Hiruk pikuk kota membuat saya sadar bahwa ada yang kurang. Ada hal yang masih belum saya dapatkan di kota dan baru disadarkan ketika saya berkunjung ke kampung halaman melalui aktivitas mudik lebaran. Meski bukan kampung halaman saya. Selain itu, berkunjung ke tempat tumbuh kembangnya Mamah dan Papah bisa membuat saya sedikit banyak tahu bagaimana mereka hidup pada jamannya.

Di Magelang, saya biasanya menghabiskan waktu di rumah Mbah dan sesekali keliling daerah sekitar. Ke sawah - sawah, blumbung, kebon, kali, maupun hutan? Hahaha, saya ingat waktu kecil dulu. Saya, adik saya, sama dua orang sepupu saya yang umurnya nggak jauh dibawah saya berjalan - jalan masuk hutan yang berujung sawah. Seolah - olah kami adalah tim jejak petualang. Oh ya, nggak lupa masing - masing dari kami membawa satu buah tongkat--yang pada saat itu dimanfaatkan untuk membuat jejak garis untuk pulang. Padahal ujung - ujungnya jejak garis itu tidak terpakai. Ujung - ujungnya kami disuruh pulang karena bertemu dengan tetangga Mbah yang sedang bercocok tanam di sawah, tentunya diantar beliau. Dimarahin? Dikit. Khawatir ada empat bocah hilang di tengah hutan.

Kalau saya kilas balik, saya kangen banget masa - masa itu. Mau mengulang lagi? Oh, tentu sulit! Adik saya udah malas diajak jalan - jalan keliling daerah sekitar, apalagi ke sawah - sawah. Pernah saya coba ajak lari, jogging sore sih tepatnya, eh dia nggak mau. Padahal asli, pemandangan yang ada cantiknya bukan main. Sepupu - sepupu saya? Udah jarang kami mudik lebaran bareng - bareng. Ah, pokoknya rindu.

Sekarang yang saya lihat di kampung Mamah saat saya mudik lebaran adalah anak - anak kecil sedang lari - larian di tanah lapang. Iya, masih banyak tanah lapang di daerah sana. Lari - larian, cerita sambil ketawa - tawa. Sesederhana itu ya mereka bahagia dan sesederhana itu pula dulu saya bahagia. Bukti nyata bahwa kesederhanaan masih dapat menghasilkan kebahagiaan.

Ketika saya melihat mereka, anak - anak kecil yang berlarian, pun diri ini tetap tersambar kebahagiaannya. Walaupun waktu malam takbiran, Nikita suka kesal dan menegur sepupu sendiri yang tinggal di Magelang untuk nggak main petasan. Kan bahaya! (Mungkin ini sih alasan kenapa anak kecil kadang kurang suka dengan orang dewasa, suka merampas kebahagiaannya sih. Hahaha!)

Okay, setelah lima sampai enam hari tinggal di rumah Mbah di Magelang, saatnya pergi menuju Madiun! Yang saya paling ingat ketika mudik di Madiun adalah setelah selesai silahturahmi ke Mbah - Mbah dan tetangga di sana, Papah akan hilang. Ke mana? Ke semua reuni yang mengundang Papah. SD, SMP, dan SMA semuanya didatangi. Kalau soal reuni, Papah paling rajin. Kadang Mamah suka bete kenapa Papah lebih milih reunian sama teman - teman dibandingkan keluarga. Papah was such a friendly one. Saya pernah nulis dulu di post terdahulu tentang Papah, "he was the one who always put his smile every time around his families and friends. The one who cheered everyone up. The one who lit the room up and the one who easily gave hand even you did not ask." He was a good person.

Saya sempat bertanya ke Papah kenapa dia lebih memilih untuk reunian terus dan 'seolah - olah' menelantarkan keluarganya karena tidak diajak jalan - jalan. Papah bilang bahwa, "ya mumpung di sini. Kapan lagi coba, Kak, bisa kumpul komplit bareng temen - temen?" 

Pernah sekali saya nemenin Papah reunian, di sebuah restoran seafood keluarga di pinggir jalan. Ternyata benar, Papah salah satu sosok yang memang ditunggu oleh teman - temannya. Terlihat jelas perubahan raut wajah dari teman - temannya ketika Papah datang. Apalagi kalau ada musik dan mic, Papah bisa langsung nyanyi - nyanyi meramaikan suasana. He was really good at singing--yang mana kok nggak menurun ke saya atau Anov sih?!

Dan satu lagi, setiap kali saya jalan - jalan di komplek rumah Madiun, even ke warung kecil pun, pasti langsung ditanya, "anaknya Pak Ed ya?" Padahal pemilik warung, saya  menebak, umurnya lebih muda dari Papah. Entah wajah saya yang mirip Papah makanya langsung dikenali atau memang seterkenal itu Papah dari jaman dulu. Logikanya, kalau pemilik warung lebih muda dari Papah, artinya dia masih ingat Papah sejak dulu. Padahal selepas sekolah Papah langsung merantau ke Jakarta. Heran, ini orang dulu mainnya sama siapa aja sih?

Terakhir, sesi storytelling adalah sesi yang paling saya rindukan saat mudik lebaran ke kampung halaman. Biasanya kami kumpul di ruang tengah atau kamar dan bercerita tentang kehidupan Papah dan Bude - Bude pada jamannya. Ketawa nggak udah - udah saat Bude cerita jaman dulu. Dari sana saya tahu, Papah dulu nakal--nakalnya anak kecil ya. Suka nggak mau pulang kalau belum menang main banyak - banyakan karet dan gundu. Pulang - pulang biasanya udah bawa gundu setoples, padahal pas berangkat nggak bawa apa - apa.

Ah, mungkin itu alasan kenapa Papah dikenal. Bandelnya ketika masih kecil dan keramahannya ketika muda dan tua. A good person will always be remembered ya, Pah?


Love,
NM.

P.s:
Halo! Sejujurnya, saya harusnya post ini dari bulan puasa tahun 2012 atau 2013, saya lupa. Tapi karena selalu tidak kunjung selesai, akhirnya saya cuma bisa jadiin tulisan ini sebuah draft aja. Kebetulan malam ini saya lagi ulik - ulik draft di blog dan rasanya ingin melanjutkan nulis post ini. Lagi kangen sama Papah juga sih! Kenapa judulnya Tentang Rindu? Ya karena rindu dengan semua hal yang nggak akan lagi bisa saya ulangi. Mudik naik mobil, berempat aja. Papah, Mamah, saya, dan Anov. Mampir sana, mampir sini. Ketawa cekikikan sambil nunggu macet yang nggak selesai - selesai karena lawakan Papah yang basi tapi sukses buat ketawa. Atau keisengan kita untuk milih keluar dari mobil karena mobil di jalanan sama sekali nggak gerak! Ah, kapan ya bisa mudik road trip lagi? Karena sekarang apa - apa pasti dengan kereta. Target saya: mudik bertiga; Mamah, saya, Anov, dan road trip! Tapi tunggu Anov tuaan dikit deh, biar bisa gantian nyetir mobilnya--sekalian nunggu kakaknya belajar (lagi) dulu. Hahaha!

Wednesday, June 7, 2017

It's All About Time

Pasar Klitikan, Semarang. 2015
"Lo pernah takut nggak ditinggal pas lagi sayang - sayangnya?—kok bisa ya, hanya dalam waktu semalam aja kita sama – sama bilang sayang, padahal kita udah kenal belasan tahun."

Salah satu teman saya menanyakan hal itu ke saya—tentang dirinya—yang mana saya nggak bisa jawab. Saya nggak pernah tahu rasanya takut ditinggal waktu lagi sayang – sayangnya karena memang saya nggak pernah berada di posisi itu.

I will never let myself to be in a position where the relationship status isn’t cleared. Saling sayang, tapi nggak pacaran, tapi juga sayang – sayangan. 

Tapi, apa yang membuat saya  menulis hal ini bukanlah tentang hubungan itu dan/atau perasaan takutnya. Saya tertarik untuk menilik lebih jauh tentang rasa penasaran teman saya—yang mana sekarang saya jadi ikut penasaran.

Kok bisa ya, hanya dalam semalam aja kita sama – sama bilang sayang padahal kita udah kenal belasan tahun?

Kok bisa? Apa yang membuat hal itu terjadi? Kenapa mesti pada malam itu? Kenapa nggak kemarin? Sebulan yang lalu? Dua atau tiga tahun yang lalu? Atau belasan tahun yang lalu? Ya nggak mungkin sih belasan tahun yang lalu, soalnya masih kecil. 

Terus muncul lagi pertanyaan: perasaan sayang yang muncul itu perasaan yang kayak apa? Sayang yang kayak gimana? Perasaan sayang temporer atau perasaan yang murni sayang kepada teman lama? Atau malah perasaan sayang yang nggak pernah dirasain sebelumnya—yang akan berlangsung lama?

I couldn’t answer, but I have this one assumption:
It’s all about time. It’s all about time we come to realize that we have feelings toward him or her.

Terlepas dari berapa lama temen saya ini udah kenal sama orang yang, mungkin saat ini, dia sayang. Saya yakin kok, memang dari dasarnya (dari dulu) pasti udah ada sedikit rasa aja—di alam bawah sadar. Cuma belum terlihat dan baru sadar sekarang. Pun begitu dengan temennya saya ini.

Habis ini temen saya di sana, sambil baca blog saya, denial deh hahaha!

Ya itu sih teori saya. Perasaan itu emang udah dari dulu ada, tapi kitanya nggak sadar. Saya jadi penasaran, apakah akan ada saat di mana saya ngerasain hal yang sama kayak temen saya ? The time to realize feelings?

Epilogue:
At the end of the day, my friend told me the reason why she is into a relationship like that, "in case of love, gue tuh nggak visioner. Gue cuma mau hidup hari ini. Nikmatin kebodohan gue, nikmatin kebodohan dia."


Love,
NM.