Tuesday, June 4, 2019

Tentang Meninggalkan atau Ditinggalkan

Bali, 2016.
Saya baru sadar bahwa saya sepengecut itu. Memilih untuk meninggalkan sebelum saya tertinggal nantinya. I wish that cutting people off isn't an easy act for me. Tapi kenyataannya, saya bisa dengan mudah memangkas segala hubungan yang saya rasa tidak perlu lagiyang saya rasa, hanya tinggal saya yang berusaha. Berusaha untuk memperjuangkan hubungan tersebut.

Walaupun segala pangkasan yang ada berujung dengan saya berada di pojok ruang sendirian. Hampa. Terpuruk. Lalu memakan habis semua kesedihan. Kesedihan yang muncul akibat rasa rindu yang tak terbalas. Jangankan berharap rindu itu terbalas, tersampaikan saja tidak.

Tahu kenapa saya lebih memilih untuk meninggalkan? Karena, menurut saya, meninggalkan tidak akan sesakit jika harus ditinggalkan. Being left alone always hurts me that much. Apalagi jika orang yang meninggalkan adalah orang yang tidak pernah sekalipun terbesit di otak saya mampu melakukannya.  Karena saya pikir, "oh, you will be beside me forever" Tapi nyatanya, tentu tidak. Kalau kata Brian McKnight, "forever was shorter than what I was thinking".

Itu adalah kenyataan pahit pertama.

Kenyataan pahit kedua adalah ternyata rasa sakitnya sama saja. Menjadi orang yang ditinggalkan dan menjadi orang yang meninggalkan. Sama saja. Tak ada yang lebih baik atau lebih menguntungkan.

Saya cukup menyesal sebenarnya. Ada banyak "seharusnya, seharusnya, seharusnya" yang berputar di otak. Seperti seharusnya saya bertahan, seharusnya saya terus berusaha. But I guess I am not that capable of thisholding on to a relationship where I am the only one who try to make it work.

Because remember, it always takes two to tango.


Love,
NM.