Monday, June 16, 2014

Berkurang Seribu

Malam semakin larut, tapi aku masih terjebak dalam kemacetan jalan Jakarta. Semuanya berisik, bunyi klakson mobil meriuhkan jalan. Asap rokok beradu dengan asap kendaraan. Bau lepek dari pakaian kantor, seragam, ataupun kaos bercampur dengan udara malam. Entah apa yang lebih buruk di saat keadaan seperti ini, perasaan kalut menyelimuti. Hati, pikiran, semua penuh. Rasanya ingin kucopoti satu – satu.

Kulihat telepon genggamku, tak ada tanda – tanda apapun. Notifikasi pesan maupun telepon sama sekali tak ada yang masuk. Aku mulai meragukan dia; seseorang yang sudah kuanggap lebih dari sekedar teman, sahabat, maupun keluarga. Seseorang yang sudah kuterima cintanya tiga tahun yang lalu. Dan seseorang yang selalu berkata ingin menghabiskan waktu bersamaku. Abadi selamanya.

Dingin malam semakin menusuk. Pun begitu dengan perkataannya; selalu berputar – putar di pikiran sembari menancapkan duri tajam. Kata – kata yang dulu indah; sangat indah. Namun, semuanya telah berubah sejak tadi pagi. Cacian, makian serta perbuatannya telah menghapus semua keindahan.

“Kamu kurang ajar! Lalu apa arti abadi selamanya, hah?” ucapku berteriak.
“Tunggu, tunggu dulu. Apa yang kamu lihat tidak seperti di pikiranmu.” ujarnya.
“Ini indraku, Ndra. Aku berhak percaya atas apa yang aku lihat!” teriakanku semakin keras.
“Perempuan keras kepala! Sudah kubilang dia bukan siapa – siapaku!”

Seketika itu aku tertawa, keras sekali. Tawa yang kuharap bisa menyindir dirinya.

“Hahaha, kamu kira aku bodoh? Laki – laki seperti kamu berdua dengan perempuan di kafe sepi seperti ini dan sekarang kamu bilang bahwa dia bukan siapa – siapa kamu?” tanyaku.
“Kamu memang bodoh, lebih bodoh sejak kita pertama kali bertemu. Tiga tahun yang lalu.” tukasnya dingin.

Semua nilai, untuk perkataan dan dirinya, telah berkurang seribu di mataku.

Lalu aku berpikir, apalah arti berkurang seribu kalau dari awal aku sudah memberikan dia nilai seratus ribu untuk segalanya; penampilan, karakter, sikap, hingga kecerdasannya. Semua jelas tak berarti apa – apa.

Telepon genggamku berbunyi. Sebuah notifikasi muncul; ada pesan baru masuk. Kubuka pesan itu secara perlahan. Membaca pesan itu berulang – ulang ternyata tak membuahkan hasil; isi pesan itu tetap sama. Isinya: aku sudah putuskan semua. Kurasa meninggalkanmu dan memilih dia adalah pilihan yang tepat. Selamat tinggal. Segera kurekatkan jaket kulitku lebih erat dari sebelumnya, rasanya aku bisa mati kedinginan. 

Malam ini.

No comments:

Post a Comment